( sebuah inspirasi...dari blog http://voicesnoises.blogs.friendster.com/voices_noises/relationships
“Hari ini tulisanku tentang aborsi dimuat di jawapos. Baca di www.jawapos.co.id ya thx atas supportnya.” begitu bunyi SMS dari kawanku dr Yusuf. Itulah SMS yang pertama masuk di inbox-ku hari ini. Aku percaya bahwa SMS itu bukan kebetulan. Nggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua hal, dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar, selalu punya maksud. Dan aku tahu maksud SMS itu buat aku. SMS itu adalah kesempatan buat aku untuk berbagi pengalaman gelapku. SMS itu adalah tantangan buat menguji nyaliku, mengetes kejujuranku. SMS itu adalah pintu terbuka untuk tiba di hatiku. Untuk menjadi diriku.
Baiklah… aku akan ceritakan pengalaman gelap itu. Pengalaman yang baru aku ceritakan ke beberapa sahabat. Pengalaman yang belum pernah aku ceritakan ke keluargaku. So here we go….
Waktu masih kuliah di Jogja dulu, aku pernah hamil sebelum nikah. Dan karena itu aku melakukan aborsi. Jaman segitu, aku masih jadi orang yang amat teramat bodoh dan tolol. Bodoh dan tolol karena aku nggak berani jadi diriku sendiri. Jaman segitu, aku masih takut dengan label-label yang diberikan orang-orang. Takut dengan cap-cap yang diberikan keluarga, teman-teman, masyarakat, agama, dan budaya. Waktu itu aku masih takut dengan penilaian-penilaian yang sangat hitam putih bahwa yang baik, bahwa yang sukses selalu mendapat sanjungan dan pujian, dan yang buruk dan yang gagal mendapat cemooh dan pengucilan. Waktu itu aku masih [memilih] hidup dalam lingkungan seperti ini. Karena itu, meskipun sebenarnya aku nggak ingin melakukan aborsi, namun hal itu tetap aku lakukan. Aku takut aku dan keluargaku dipandang buruk. Aku nggak sampai hati membayangkan wajah kedua orangtuaku. Nggak tega membayangkan kalau ibu dan bapakku jadi bahan gunjingan keluarga besar dan teman-teman mereka. Aku kasihan pada mereka kalau hal itu sampai terjadi. Selain itu, aborsi aku lakukan karena ketakutanku sendiri. Takut dengan omongan teman-teman, keluarga dan tetangga. Takut dengan omongan siapa saja.
Ahh… kalau mengingat hari-hari gelap itu, aku bersyukur hari ini aku masih bisa hidup dan menikmati hidup. Kenapa aku bilang begitu? Karena aborsi yang aku lakukan cukup berbahaya. Aku terpaksa menempuh cara berbahaya itu karena sudah datang ke dokter umum dan rumah sakit tapi tidak ada dokter umum dan rumah sakit yang mau melakukan aborsi itu. Aku nggak bisa mencari dokter dan rumah sakit lainnya karena uangku terbatas, dan waktuku terbatas. Saat itu usia kandungannya mungkin sudah sekitar 3 bulan. Aku sudah coba apa saja yang aku dengar-dengar bisa menggugurkan kandungan. Coba makan ragi, nanas, pil-pil menstruasi. Semua aku coba, tapi tidak ada yang berhasil. Janin itu tetap hidup, terus tumbuh.
Karena aku tidak berhasil mendapat bantuan dokter, akhirnya aku pergi ke dukun. Waktu datang ke situ, aku takut kalau-kalau ada saudaraku di Jogja dan orang-orang yang aku kenal melihatku masuk ke rumah dukun itu. Padahal rumah itu tidak ada plang apa-apa yang menunjukkan bahwa itu rumah dukun. Begitulah ketakutanku. Begitulah aku yang terus dikejar-kejar penilaian masyarakat. Sedemikian besar ketakutan itu sampai aku rela mempertaruhkan nyawaku untuk itu. Soal nyawa, saat itu, mungkin menjadi nomor kesekian. Yang jadi nomor satu waktu itu, adalah harga diri. Harga diri yang sebenarnya semu. Dan demi harga diri, aku pasrah saja tubuhku hendak diapakan oleh si dukun.
Ibu dukun itu ternyata memasukkan beberapa tangkai atau ranting2 kecil tanaman [entah tanaman apa] ke dalam vaginaku. Tangkai itu ada di dalam vaginaku selama berjam-jam untuk proses pengguguran itu. Selama proses itu, ibu dukun tidak mengijinkan aku tinggal di rumahnya karena ia khawatir ketahuan tetangganya atau orang lain, entah siapa. Aku juga tidak bisa kembali ke kosku karena teman-teman sering nongkrong di kamarku. Akhirnya aku ke hotel murahan dengan membawa seluruh uang yang aku punya. Dan saat itu, uangku nggak banyak. Aku ingat, waktu itu aku sampai memecah celengan. Padahal isinya cuma koin-koin seratus rupiahan.
Aku di hotel tidak sendiri. Ada lelaki itu. Tidak perlu aku sebutkan siapa dia. Karena aku nggak tahu apakah dia sudah punya nyali atau belum untuk menceritakan ini. Tapi aku bersyukur ketika itu dia tidak kabur meninggalkanku. Dia terus menemaniku selama proses situ. Ada kalanya dia harus meninggalkan aku sendirian di hotel untuk beli makanan, susu dan vitamin.
Barangkali para petugas hotel terheran-heran dengan kami waktu itu. Ada 2 anak muda laki-laki dan perempuan masuk kamar hotel, tapi yang terdengar dari luar bukan suara orang sedang making love, malah suara orang mengaji. Ya itulah yang kami lakukan di dalam kamar hotel. Dia membaca Al-Qur’an. Dan aku membaca doa-doa dari buku kecil yang isinya doa-doa berbahasa Arab dengan terjemahan Bahasa Indonesia di bawahnya.
Dia terus mengaji dan aku terus berdoa.Ketika tubuhku mulai panas dan keringat dingin, aku terus berdoa sambil minum Biogesic atau minum madu. Ibu dukun itu memang sudah memberitahu bahwa suhu badanku akan naik dan aku akan panas dingin. Aku benar-benar mengalami ini, panas-dingin dan menggigil. Aku merasa bahwa nyawaku di ujung tanduk. Merasa bahwa kematianku sangat mungkin terjadi dalam hitungan jam, menit bahkan detik. Kalau ada satu hal yang aku bisa banggakan dari diriku adalah aku orang yang tidak mudah menyerah. Dalam kondisi dimana harapan hidupku sudah tipis, aku masih punya semangat yang tebal. Semangat bahwa aku harus hidup. Aku harus hidup untuk menjadi lebih baik dari hari ini.
Aku terus melawan kesakitan dari dalam perutku, keletihan tubuhku, dan keputusasaanku. Jika sakit tidak begitu menyerang, aku jalan-jalan kecil di dalam kamar hotel sambil terus berdoa. Akhirnya setelah berjam-jam seperti itu, perutku diserang kesakitan yang hebat. Janin itu akhirnya keluar. Dia memberojol di antara selangkangan kakiku. Jatuh di lantai kamar mandi hotel. Aku tak sampai hati untuk melihatnya. Jadi aku nggak tahu bagaimana bentuk persisnya. Yang aku tahu bahwa janin itu keluar dalam bentuk gumpalan-gumpalan seperti potongan daging hati mentah yang biasanya dibuat lauk. Setiap kali gumpalan itu mau keluar, aku diserang kesakitan.
Lama-kelamaan gumpalan daging itu berhenti keluar. Yang tersisa adalah darah yang mengucur. Mengucur lebih deras daripada saat menstruasi. Entah berapa tumpuk pembalut aku habiskan untuk menampung darah itu. Aku ingat lemari di kamar hotel itu, isinya cuma bertumpuk-tumpuk pembalut.
Kami berada di hotel mungkin selama 2 atau 3 hari. Setelah kami yakin bahwa janin itu sudah keluar, aku kembali ke kos. Sebenarnya pendarahan masih cukup deras, tapi berhubung uang sudah menipis, jadinya aku kembali ke kos. Selama masa pemulihan itu aku minum jamu yang diberikan ibu dukun itu. Jamunya harus digodok di panci yang stainless steel. Pokoknya ribet. Dan rasanya pahit.
1 comment:
terima kasih, mbak, sudah memposting tulisan ini di sini. may god bless you ;)
Post a Comment